Tidak semua proyek teknologi informasi di perusahaan berjalan mulus. Faktor kesiapan sumber daya manusia perusahaan maupun kualitas konsultan sebagai mitra kerja sama belum tentu menjamin keberhasilan implementasi sebuah proyek teknologi informasi. Cukup banyak konsultan multi-nasional di tanah air yang mengalami kegagalan ketika menangani proyek-proyek yang sebenarnya tidak tergolong sulit di beberapa perusahaan lokal, sementara tidak sedikit pula konsultan lokal yang berhasil menangani proyek-proyek kompleks di perusahaan multi-nasional. Apa kira-kira yang menjadi parameter dari hal tersebut?
Serumit apapun atau sebesar apapun sebuah proyek, pada level operasional yang terjadi adalah “berhadapannya” sumber daya manusia perusahaan dengan para konsultan dari institusi lain. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa belum tentu setiap sumber daya manusia baik dari pihak perusahaan maupun konsultan memiliki semangat yang sama dalam mengerjakan sebuah proyek tertentu. Masing-masing dari mereka tentulah memiliki penilaian dan ekspektasi tersendiri dari keterlibatan mereka di proyek. Dari pihak perusahaan, jika seorang karyawan terlibat di proyek karena sebuah “keterpaksaan” (misalnya karena diperintah atasan), maka kecil kemungkinannya yang bersangkutan akan “enjoy” atau merasa mendapatkan “value” dari penugasan tersebut. Sebaliknya di pihak konsultan, jika tenaga ahli yang dipilih ternyata “terlalu pintar” (over qualified) untuk mengerjakan sebuah penugasan, mungkin saja yang bersangkutan sedikit “ogah-ogahan” (setengah hati) dalam mengerjakannya karena baginya melakukan aktivitas tersebut tidak mendatangkan “value” baru. Sebuah matriks dapat dikembangkan untuk memperlihatkan hubungan antara manfaat (value) yang dirasa oleh sumber daya manusia di perusahaan dan konsultan terhadap potensi keberhasilan sebuah proyek teknologi informasi.
Kuadran Satu mewakili sebuah lingkungan dimana sumber daya manusia dari kedua belah pihak merasa mendapatkan manfaat dari proyek yang dikerjakannya. Dalam keadaan seperti ini, biasanya proyek akan berjalan dengan cukup lancar karena semua pihak saling bekerja-sama dengan baik. Tidak ada perasaan saling curiga maupun ingin memanfaatkan satu dengan lainnya karena seluruh pihak ingin “mendapatkan sesuatu” dari keberhasilan proyek tersebut. Dilihat dari sisi keuangan proyek, biasanya prinsip “value for money” menjadi pertimbangan utama. Jarang terjadi pertengkaran menyangkut aspek-aspek proyek semacam ruang lingkup, kualitas, waktu, dan lain sebagainya karena setiap stakeholder (yang berkepentingan) merasa yakin akan niat baik masing-masing pihak. Suasana “win-win” semacam ini merupakan keadaan ideal sebuah proyek yang tentu saja akan memperkecil resiko terjadinya kegagalan karena berbagai masalah yang dijumpai. Proyek-proyek teknologi informasi semacam implementasi ERP (Enterprise Resource Planning), Intranet, E-Commerce, adalah beberapa contoh yang biasa mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak.
Kuadran Dua mewakili sebuah situasi dimana hanya pihak perusahaan (klien) lah yang merasa mendapatkan banyak manfaat dari keterlibatan sumber daya manusianya di dalam proyek, sementara pihak konsultan merasa tidak memperoleh manfaat yang signifikan dengan keberadaan proyek tersebut. Contohnya yang paling klasik adalah implementasi Office Automation System di sebuah perusahaan konvensional yang sebelumnya tidak pernah menggunakan komputer sama sekali. Bagi perusahaan tersebut, keberadaan komputer tentu saja sangat “menyenangkan” karena selain merupakan hal baru, fasilitas tersebut dapat mempermudah hidup mereka. Namun di pihak konsultan, terasa “membosankan” harus mengajarkan kembali aplikasi standar semacam Word Processor atau Spreadsheet kepada klien. Pada lingkungan semacam ini, biasanya konsultan akan cenderung untuk tidak terlalu banyak terlibat (intens) di dalam proyek tersebut karena merasa jenuh. Di sisi lain, tidak jarang pula terjadi “kegembiraan” yang berlebihan dari klien karena adanya “knowledge transfer” dari pihak konsultan. Fenomena ini terkadang membuat pihak perusahaan menuntut hal-hal yang lebih daripada semestinya (over demanding). Walaupun pada mulanya resiko kegagalan proyek cukup kecil, namun suasana yang berlarut-larut (terutama untuk proyek yang berjangka waktu panjang) dapat meningkatkan resiko kegagaln proyek karena besar kemungkinan si konsultan akan “nyambi” melakukan pekerjaan lain di luar proyek tersebut (sehingga menurunkan kualitas pemberian jasa konsultasi).
Kuadran Tiga merupakan situasi yang terbalik dari kuadran kedua, dimana justri pihak konsultan yang merasa diuntungkan dengan adanya proyek tersebut, sementara bagi perusahaan justru adanya proyek tersebut cenderung membebankan mereka. Contohnya adalah proyek migrasi dari sistem lama ke sistem yang baru, atau implementasi sebuah aplikasi modern yang akan merubah cara kerja staf dan karyawan perusahaan. Dapat terlihat bahwa dalam lingkungan semacam ini, pihak perusahaan akan cenderung menyerahkan “segalanya” kepada konsultan, dan mereka tidak terlalu senang jika banyak dilibatkan dalam proyek. Namun bahayanya, pada akhir dari pengerjaan proyek, biasanya mereka akan memberikan berbagai macam kritik sebagai manifestasi ketidaksetujuan mereka pada berbagai hasil dari konsultan. Keadaan ini membuat resiko proyek menjadi sangat tinggi karena si klien akan cenderung “menolak” hasil proyek terlepas dari berkualitas atau tidaknya output yang dihasilkan. Tapi tidak jarang terjadi keadaan dimana klien merasa “acuh tak acuh” terhadap hasil apapun yang dikeluarkan oleh konsultan. Pada kondisi ini, tentu saja konsultan akan diuntungkan karena selain mendapatkan keuntungan dari proyek, mereka mendapatkan sarana litbang gratis dari perusahaan (proyek dijadikan sebagai sarana pelatihan, penelitian, dan pengembangan bagi para konsultan).
Keadaan terakhir adalah seperti yang direpresentasikan oleh Kuadran Empat dimana kedua belah pihak karena berbagai alasan dan kondisi tidak merasa memperoleh manfaat apa pun dari adanya sebuah proyek. Misalnya adalah proyek EDP Audit di sebuah institusi pemerintahan yang selain membosankan bagi seorang konsultan juga tidak begitu “menyenangkan” bagi pihak klien. Kedua belah pihak biasanya sama-sama menginginkan agar proyek diselesaikan dengan cepat dan dengan kualitas yang seadanya (minimum quality). Tidak jarang terjadi pelanggaran etika bisnis oleh salah satu maupun kedua belah pihak di dalam situasi semacam ini yang tentu saja dapat menimbulkan resiko di kemudian hari yang harus ditanggung.
Matriks di atas dapat digunakan oleh pihak perusahaan, konsultan, maupun entiti lain yang berkepentingan dalam memilih sumber daya manusia yang tepat sehingga situasi ideal seperti yang terdapat pada Kuadran Satu dapat benar-benar terwujud untuk setiap proyak. Di pihak perusahaan misalnya, adalah tugas manajemen untuk menyeleksi staf atau karyawan yang tepat untuk terlibat dalam proyek. Harus dipilih orang yang benar-benar bersemangat untuk mengikuti proyek tersebut, tentu saja disesuaikan dengan jenis dan kebutuhan proyek. Untuk proyek pengembangan Sistem Informasi Keuangan misalnya, janganlah dilibatkan mereka yang telah beberapa kali terlibat dalam proyek sejenis dan mengalami kegagalan, atau mereka yang selalu anti dengan berbagai perubahan yang mungkin terjadi akibat diimplementasikannya sebuah aplikasi baru.
Di pihak konsultan pun hal yang sama berlaku. Selain dipilih orang-orang yang paling berkompeten di bidangnya, perlu dipertimbangkan pula semangat dan kemauan mereka (eagerness) untuk terlibat di dalam proyek yang ada. Di negara maju biasanya sudah tidak umum lagi dilakukan sistem penunjukan oleh seorang partner terhadap konsultannya untuk terlibat dalam proyek tertentu seperti yang kerap terjadi di Indonesia. Cara yang biasa mereka lakukan adalah dengan sistem penawaran kepada siapa saja yang tertarik untuk mengerjakan proyek tertentu. Bahkan kalau terdapat jumlah konsultan yang bersedia melebihi dari kebutuhan proyek, “lelang” berdasarkan tarif kerja (fee/rate) dan kecepatan kerja (time) pun dilakukan secara langsung dan terbuka
agung,,kesalahan terbesar dalam sebuah proyek intranet itu apa ya??
ReplyDeleteInfrastruktur yang mahal, kurangnya sumber daya manusia dll
ReplyDelete